Sejarah Lampung
Lampung
Lampung
(aksara Lampung: ), adalah sebuah provinsi di bagian ujung selatan Pulau
Sumatra, Indonesia. Ibu kota dan pusat pemerintahannya berada di Kota Bandar
Lampung. (9) Provinsi ini memiliki dua kota,
yaitu Bandar Lampung dan Metro, serta 13 kabupaten. Posisi provinsi Lampung secara
geografis di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur
dengan Laut Jawa, di sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatra Selatan
dan Bengkulu, serta di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.
Provinsi Lampung memiliki pelabuhan utama bernama Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Penyebrangan Bakauheni, bandar udara utama yakni Bandara Internasional Radin Inten II terletak 28 km dari ibu kota provinsi, serta stasiun kereta api besar Tanjung Karang yang terletak di pusat ibu kota provinsi. Pada 2020, penduduk provinsi Lampung berjumlah 9.007.848 jiwa, dengan kepadatan 268 jiwa/km2.(2)
Sejarah
Pada
abad ke- 7 tahun 671 Masehi zaman pra-sejarah Lampung di Sumatra, Sriwijaya
menguasai sebagian besar Asia Tenggara hingga abad ke-11 Masehi, di adad ke-13
tahun 1289 Masehi penyebaran Islam awal
bermula dari Batu Brak di tengkuk gunung pesagi
daerah hanibung yang ditandai dengan adanya peninggalan pra-sejarah
hingga zaman sejarah yakni Dolmen dan Megalitikum tertua di tanah Lampung, lokasi ini
secara administrative berada di wilayah Kabupaten
Lampung Barat yang beribu kota di Liwa, penyebaran ini menjadi tanda
tonggak berdirinya Kerajaan di wilayah tersebut. Pada abad ke-16 Masehi
Penyebaran Islam juga masuk dari Banten ke Tolang Pohwang, secara
administrative berada di daerah Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung.
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi
Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan
keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatra Selatan.
Kendatipun
Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964
tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatra Selatan, namun daerah ini jauh
sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar
serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khazanah adat
budaya di Nusantara. Oleh karenanya, pada zaman VOC di dapat dari berbagai
sumber bawasanya Vereenigde Oostindische Compagnie (Persatuan Perusahaan Hindia
Timur) yang berada di bawah pemerintahan Belanda pada
tahun 1800 selama abad ke-19 hingga abad ke-20, Hindia Belanda adalah
salah satu koloni Eropa yang paling berharga di bawah kekuasaan Imperium
Belanda. Tatanan sosial kolonial didasarkan pada struktur rasial dan sosial
yang kaku dengan para elit Belanda yang tinggi terpisah akan tetapi tetap berhubungan
dengan penduduk pribumi yang dijajah oleh mereka, sedangkan istilah Indonesia
digunakan untuk lokasi geografis setelah tahun 1880
Masehi, nama Hindia Belanda tercatat dalam
dokumen VOC pada awal tahun 1620 Masehi. Daerah Lampung sendiri tidak
terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Lampung
Tolang Pohwang kemungkinan besar pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan
Sunda, setidaknya sampai abad ke-16. Sebelum
akhirnya Kesultanan Banten menghancurkan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Sultan Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa, lalu tidak mengambil alih kekuasaan
atas Lampung. Hal ini dijelaskan dalam buku The Sultanate of Banten karya
Claude Guillot pada halaman 19 sebagai berikut:
Di
bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683) Banten berhasil menjadi pusat
perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku.
Dalam masa pemerintahannya, Sultan Ageng berupaya meluaskan wilayah kekuasaan
Banten yang terus mendapat hambatan karena dihalangi VOC yang bercokol di
Batavia. VOC yang tidak suka dengan perkembangan Kesultanan Banten mencoba
berbagai cara untuk menguasainya termasuk mencoba membujuk Sultan Abu Nashar
Abdul Qahar, Putra Sultan Ageng untuk melawan Ayahnya sendiri.
Dalam
perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Abu Nashar Abdul Qahar meminta
bantuan VOC dan sebagai imbalannya ia menjanjikan akan menyerahkan penguasaan
atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal
7 April 1682 Sultan Ageng Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan
menjadi Sultan Banten.
Dari
perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Abu Nashar Abdul Qahar
menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Abu Nashar Abdul Qahar tertanggal 27
Agustus 1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu
pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan
Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah
Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Abu Nashar Abdul Qahar yang mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yang dicarinya. Perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung mengalami kegagalan disebabkan karena tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Abu Nashar Abdul Qahar yang bersekutu dengan kompeni, sebagian mereka masih tidak mengakui Sultan Ageng Tirtayasa sebagai Sultan Kerajaan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.[11] Sementara itu timbul keraguan dari VOC mengenai status penguasaan Lampung di bawah Kekuasaan Kesultanan Banten, yang kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidaklah mutlak.
LogoDistrik Keresidenan (Oosthaven) saat penjajahan Belanda
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "jenangan" atau kadang-kadang disebut gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada). Sedangkan para penguasa hasil bumi Lampung asli yang terpencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "adipati" secara hierarki tidak berada di bawah koordinasi penguasaan jenangan/gubernur. Disimpulkan penguasaan Sultan Banten atas Lampung hanya dalam hal garis pantai Banten saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil bumi terutama lada. Dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya
pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811
ia tidak menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung
kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan
Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829
ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung. Kebesaran
seorang Raffles terendus sejak dirinya berusia 14. Di masa remaja itu
Raffles harus menggantikan peran ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Sir
Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica, 6 Juli 1781 – meninggal di
London, Inggris, 5 Juli 1826 pada umur 44 tahun) adalah seorang Gubernur-Letnan
Hindia Belanda yang terbesar. Ia adalah seorang warga negara Inggris. Ia
dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Lampung"
Posting Komentar